Rabu, 29 Februari 2012

tentang cinta

Gericik Gerimis

Harus kuakui, rasaku tak pernah pudar. Pun ketika dia hanya memberiku angan tentang masa. Sangat terlihat bahwa dia menikmati setiap kalimat yang kuucap, mungkin akan sama saat aku menintakan susunan kata tentang cinta. Aku telah mencoba membuatmu paham tentang keadaan rasa yang lama aku simpan.
Terus terang, aku berharap gerimis akan menahanmu lebih lama dan membuat hatimu berubah dingin agar bersedia untuk kupeluk. Namun, terlalu hangat untuk kuberanikan diri menawarkan apa yang ada. Akhirnya sore itu pun kita sudahi dengan satu kata yang kembali menjadi asa, tentunya untukku.
Hari berganti minggu hingga genap menjadi sebuah putaran waktu yang tidak terlalu lama jika dibandingkan pengharapan sebelumnya, tapi seandainya dia tahu kali ini semua terasa lebih menyiksa. Sampai pada akhirnya aku menaamiini ketika semua bahasa menyerukan tidak ada kata sama untuk sebuah rasa.
Aku memang telah menganggapnya tiada, mungkin mencair menjadi setitik embun yang akhirnya memecah membasahi tanah kering yang bukan kepunyaanku. Aku memutuskan untuk “pulang” dan mencoba menjelajahi perjalanan baru. Akan tetapi, aku mengutuk diriku sendiri ketika tidak sengaja menemukannya kembali di relung-relung hati. Pertemuan yang sudah tak pantas aku syukuri.
Mencoba memendam kembali adalah lelucon yang sama sekali tidak menjadi lucu. Harus kucari cara membuang semua kenangan, jika semua itu bisa disebut kenangan. Sampai kutemui diriku tetap menjadi orang bodoh yang selalu mencarinya di setiap celah takdir. Kini, aku biarkan dirinya liar menjajaki setiap khayal, membodohiku dengan sentuhan hangat yang tentunya hanya dalam mimpi.
Satu kata tentangnya membelenggu seluruh alunan rasa yang perlahan berubah menjadi kekal. Setiap alinea hanya menyebutkan namanya, setiap mimpi terus menawarkan harap tentangnya. Kesimpulannya selalu sama, bahwa aku masih mencintainya.

aku sayang ayah ^.^

Untukmu
Hidup memang seperti ini. Seperti sebuah lukisan, kau akan mendapati beberapa warna yang menghiasi. Mungkin merah untuk sebuah gairah, hijau untuk kesejukan hati, biru untuk air mata, hitam untuk luka, dan warna-warni lain yang dibutuhkan untuk membuatmu utuh menjadi seorang pelakon kehidupan di dunia.
Terkadang kita tak menerima satu penderitaan dan berharap beribu kebahagiaan, manusiawi, tapi itu terlalu bermimpi. Kita tidak pernah tahu maksud Tuhan menyelipkan catatan kelam dalam buku perjalanan kita. Mungkin saat ini memang sulit memahami, ketika kita semua berada dalam satu titik bernama luka.
***
Andai aku t’lah dewasa
Apa yang kan kukatakan
Untukmu idolaku tersayang
Ayah
Sherina “Andai Aku T’lah Dewasa”
Tanpa mengenyampingkan cintaku untuk ibu, melalui tulisan ini aku ingin menyampaikan kutipan cinta kasihku untuk almarhum ayah tercinta, E. Bachrudin.



Aku sangat mencintai ayah. Aku bahagia karena terlahir menjadi anakmu, ayah. Itulah dua kalimat yang sebenarnya sangat ingin aku katakan padanya dari dulu, yang sayang sekali takkan pernah dapat aku bisikan di kedua telinganya, dia telah tiada. Aku selalu memohon pada Tuhan, suatu hari kami (keluarga)dikumpulkan di surga, agar aku dapat mengatakan kedua kalimat tersebut, juga kepada ibu.
Sejak kecil aku memang mengagumi sosok ayah, bagiku dia pria yang paling pria dalam hidupku. Dia contoh nyata bagiku dalam menjalani hidup ini. Dia mengajariku sholat dengan sabar, dia rela menggendongku supaya aku sahur di bulan ramadhan, dia yang menunjukkan jalan agar aku belajar mengaji, dia yang membimbingku untuk kuat dalam menjalani hidup, dalam mengais rezeki, dalam menimba ilmu. Ya, dia idolaku.
Kala itu aku sedang bermain dengan tetanggaku, usiaku sekitar sepuluh tahun, di teras rumah tetangga aku melihat ibu dan kakak-kakakku bergegas pergi, saat kutanya ke mana mereka akan pergi, perasaanku saat itu abstrak, ayah masuk rumah sakit, serangan jantung. Sembari tersenyum, di balik jendela ICU dia melambaikan tangannya kepadaku. Ah ayah, kau tak perlu tersenyum, aku tahu kau sakit. 
Terkadang orang sakit tidak merasa bahwa dirinya sakit, apalagi jika orang tersebut adalah seorang jagoan seperti ayahku, dia merasa dirinya cukup sehat untuk melakukan aksi “kabur”  dari rumah sakit. Bukan untuk sebuah kriminalitas, ia melakukannya hanya karena rindu kepada ibu dan anak-anaknya, kepada masakan ibu yang tiada duanya, apalagi tidak satu pun masakan rumah sakit yang disukai ayah, aku ingat dia pernah memaksa suster memasakkannya indomie, dan akhirnya dikabulkan. Jika sudah jam periksa dokter, ia akan kembali ke rumah sakit, ia memang nakal, tapi pintar.  Ayah, bagaimana mungkin aku tidak bangga memilikimu.
Ayahku adalah pebisnis ulung. Usaha ayahku berganti-ganti, mulai dari membuka konveksi, berjualan kain, berjualan masakan di rumah, memiliki restoran, toko ban-velg, sampai berjualan air. Kata orang kami adalah keluarga kaya. Alhamdulillah, itulah yang diajarkan ayah dan ibu. Apa pun yang diberikan Tuhan, kita harus mengucapkannya sebagai rasa syukur. Tanpa bermaksud riya, aku ingin mengatakan ayah memang pintar dalam berbisnis. Di usianya yang terbilang muda, sekitar empat puluhan, ayah memiliki beberapa rumah dan tanah, juga beberapa kontrakkan. Asset yang mungkin sulit dimiliki anak-anaknya yang sarjana, yang pendidikannya lebih tinggi dari ayah yang lulusan SMP.
Aku dan ayah semakin kompak. Lulus SD aku memutuskan untuk bersekolah di Pesantren Persis, tentu saja ayah bangga dengan pilihanku. Dia memaksa semua kakakku untuk bersekolah di pesantren, tapi semuanya gagal, tidak ada yang berhasil lulus, mungkin karena kurikulum yang berat. Namun, ayah tidak perlu memaksaku, aku dengan rela memutuskan mengenyam pendidikan di pesantren yang berlokasi di Jln. Pajagalan tersebut. Tiga tahun menjalani masa Tsanawiyyah (SMP) tidak membuatku berbeda dengan siswa sekolah umum, kecuali hari libur kami yang memang jatuh pada hari Jumat dan pelajaran yang berbasis agama, selainnya aku rasakan normal. Menginjak masa Muallimien aku merasakan perbedaan dalam diriku, aku mulai kritis terhadap persoalan yang berhubungan dengan agama. Aku sering berdiskusi dengan ayah mengenai ilmu agama yang aku dapat di sekolah, tak jarang berakhir menjadi sebuah perdebatan.
Masa kuliah. Keluar dari pesantren aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Ayah menyanggupi untuk masalah biaya, seperti sewajarnya seorang ayah. Setelah satu tahun mengikuti sebuah bimbingan belajar, akhirnya hari itu pun tiba. Aku dan ribuan calon mahasiswa mengantri untuk membeli formulir SPMB. Dengan berbekal ilmu selama bimbel dan doa dari ayah ibu, aku percaya diri mengikuti ujian SPMB.
Agustus 2006. Aku membantu usaha keluarga berjualan masakan di rumah sambil menunggu pengumuman SPMB. Tugasku adalah meracik bumbu masak, ibu dan kakakku yang memasak, sedangkan ayah memegang bagian perbelanjaan. Seperti hari biasanya, setelah sholat subuh dan sarapan seadanya, ayah pergi ke pasar dengan menaiki sepeda mini berwarna kuning kesayangannya. Kami pun menunggu ayah dan belanjaannya untuk segera diolah, tapi hari ini dia begitu lama, terlalu lama.
Dia kembali, tapi tidak dengan menaiki sepedanya. Ia di dalam sebuah becak, dan sepeda berada di atas becak. Aku benci untuk mengingatnya, ada air mata di pipinya. Ia sakit, bukan jantung, tapi stroke. Seandainya ia tahu, saat itu bukan hanya dia yang sakit, kami pun sakit. Saat itu juga ayahku langsung dilarikan ke rumah sakit. Dia harus dirawat, tentu saja harus dirawat, ia stroke.
Setelah beberapa minggu di rumah sakit, akhirnya ayah boleh pulang, dan akhirnya pengumuman SPMB keluar, Alhamdulillah aku lulus, aku masuk jurusan Sastra Indonesia UPI. Tuhan terlalu menyayangiku, Dia takkan tega melihatku kecewa setelah memberiku ujian yang teramat berat dengan sakitnya ayah.
Aku resmi menjadi seorang mahasiswa pada bulan September. Aku menikmati kuliahku, aku berusaha menjadi mahasiswa yang baik, aku ingin kembali membanggakan ayah dan ibu. Di tahun ketiga kuliah, aku mulai merasakan “luka” itu. Penyakit stroke ayah semakin parah, ia mulai sulit berjalan dan akhirnya tak dapat berjalan. Ia sering bolak-balik rumah sakit, entah hanya chek-up atau bahkan harus dirawat karena tekanan darah yang terlalu tinggi. Aku dan kakakku menjadi perawat utama ayah di rumah ataupun di rumah sakit, kami memandikan, menyuapi makan, memberi obat, menenangkan di saat ia “gelisah”, dan tugas-tugas lainnya. Percayalah ayah, itu semua tak cukup menggantikan setiap peluh yang kau keluarkan untuk kami.
Aku merasa sangat bahagia saat aku menerima pekerjaan pertamaku sebagai seorang pengajar di sebuah bimbel di Bandung, akan meringankan beban ibu, harapku. Aku rasakan hidup begitu berat saat itu, ketika aku harus menjadi perawat utama untuk ayahku di rumah, menjadi mahasiswa yang cerdas di kampus, dan harus menjadi pengajar yang ulet di tempatku mengais rezeki. Namun, aku merasa hidupku normal-normal saja, aku begitu disayangi oleh Tuhan, Ia menyelipkan banyak kutipan kebahagiaan dalam catatan hidupku.
Senin, 29 Maret 2010. Ayah terkena serangan jantung. Aku merasa serangan kali ini lebih berat dibanding serangan jantung yang dulu karena keadaan ayah saat ini, stroke. Benar saja, dokter Bing, dokter yang biasa merawat ayah merasa dilemma. Harusnya ayah langsung masuk ICU, tapi untuk pasien stroke seusia ayah, itu terlalu mengkhawatirkan. Aku ingat kata-kata dokter saat itu, “Di usianya kini, Bapak pasti ingin selalu ditemani,” aku bergetar. Akhirnya ayah ditempatkan di ruang rawat biasa, aku dan kakakku memutuskan untuk menjaga ayah di malam pertamanya di rumah sakit. Tak perlu menunggu esok, malam itu pun, ketika hanya ada aku, kakak, dan ayah yang terus gelisah, dokter memutuskan untuk memindahkan ayah ke ruang ICU.
Semua datang. Karena panik, kami memanggil semua kakak untuk datang ke rumah sakit, ayah masuk ICU. Kami menunggu dokter memeriksa di dalam, kami cemas, tegang, intinya kami stress. Akhirnya dokter keluar, ia mengizinkan kami menengok ayah. Aku dapat giliran pertama untuk menemui ayah. Aku menyimpulkan senyum getir di bibirku, ayah hanya memandang. “Ayah diberi makan apa?” itu pertanyaan pertamaku di ICU ketika melihat ada kue Marie dan segelas teh. Ah, aku lupa, pasti ayah habis diberi obat. Ayahku termasuk orang yang sulit menelan obat, harus ada pendorong, kue atau pisang. Malam itu kami bercakap sedikit.
Hari bertambah hari, berganti minggu. Keadaan ayah tak menunjukkan kemajuan, tambah sakit. Perasaan kami benar-benar naik turun. Cemas, tegang, khawatir, itu yang kami rasakan ketika ia terlihat gelisah. Beberapa teman ayah yang datang menjenguk sempat berkata kepadaku, “Sudah seperti itu, harus sering ditemani, ditalkin, dituruti kemaunnya, yang paling pasti, kalian harus siap,” aku tak ingin mengerti maksud ucapannya.
Mendung. Hari itu, dokter mengumpulkan kami, seperti ada belati menikam jantungku, ia berkata, “Fisik Bapak sebenarnya sudah tidak kuat, ia bertahan karena obat, saran saya, relakan Bapak, kasian. Obat dan alat-alat bantu hanya menambah penderitaan.” Sontak kami semua lunglai. Keputusan pun dibuat, kami akan menunggu sampai obat terakhir habis, kemudian lihat keadaan ayah, jika memang tak ada kemajuan kami akan pasrah dan membawanya pulang. Ya, pulang, dan mengantarnya pulang.
Minggu, 18 April 2010. Jangan menangis!kasihan Bapak, jangan mengantarnya dengan tangisan. Itu pesan ibu ketika akhirnya kami memilih pasrah dan membawa ayah pulang. Di rumah sudah banyak tetangga menunggu ayah, mereka pun sangat mencintai ayah. Mungkin saat itu adalah perasaan paling abstrak selama hidupku, aku menunggu kepulangan ayahku dari rumah sakit dan siap mengantarkan kepergiannya untuk selamanya, untuk menatapnya, untuk menyentuhnya, untuk memeluknya, untuk menciumnya, untuk membisikkan Allahuakbar di telinganya, untuk terakhir kali. Ah, adakah penderitaan di dunia yang lebih menderita daripada harus melakukan itu semua?
Ayahku pergi. Kakakku menangis, adikku menangis, keponakanku mengangis, tapi ibu?ia tidak menangis, karena itulah aku pun tak mau membebani ayah dengan tangisan, biarlah doa yang mengiringi kepergiannya. Aku mencintaimu dengan doaku ayah, selamanya.
Warisanmu ayah. Setelah ayah pergi, tiba-tiba aku teringat ucapannya dua malam sebelum ia koma, sambil mengusap kepalaku ia berkata, “Eua, anak Bapak paling soleh, paling cantik.” Aku tersenyum mengingatnya, terima kasih, mungkin itu semua berasal darimu, ayah. Nasihatmu adalah warisan teristimewa, nasihatmu yang dulu kadang aku acuhkan. Kini aku sadar, kau dan nasihatmu yang membentukku, yang menjadikan sisi baik dalam diriku.
Dua puluh satu tahun. “Jasad kita memang berpisah, tapi hati kita bersama,” itulah yang ayah katakan dalam mimpiku. Ya, kita memang tak bersama ayah, hal itu yang selalu membuatku sakit, sampai saat ini. Aku tidak marah pada Tuhan yang telah memisahkan kita, aku tidak berani dan aku tidak pantas. Bagaimana mungkin aku marah pada-Nya, Ia telah memberikan takdir paling indah kepadaku, menjadi anakmu dan ibu. Terlalu banyak anugerah yang diberikan Tuhan kepadaku, ia memberiku kesempatan untuk hidup bersamamu, meski hanya 21 tahun, tapi hatimu dan doamu hidup selamanya bersamaku. Ia menitipkan kenangan terindah dalam hidupku dengan menyemaikan senyummu, meneteskan peluhmu, mengernyitkan marahmu, menyibakkan bijakmu, untukku, untuk anak-anakmu. Terima kasih Tuhan untuk anugerahMu, terima kasih ayah untuk menjadi ayahku, terima kasih ibu untuk menjadi ibuku.

Bersambung.